Meskipun telah berkembang sebelum penjajahan, perkebunan di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Adanya penambahan jumlah lahan untuk mengembangkan berbagai tanaman ekspor. Pemerintah Kolonial juga melibatkan perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Hutan dibuka untuk pembukaan lahan perkebunan.
Nah, yang namanya pembukaan lahan pasti harus diatur oleh manusia dong. Nggak mungkin hutan ditebas, dijadikan lahan pertanian lalu nggak ada kehidupan di sekitar sana. Gara-gara Kolonial yang berfokus pada hal ini, mau nggak mau, penduduk kita jadi tersebar. Salah satunya, karena adanya perjanjian Politik Etis yang memberikan tiga keuntungan: 1) Irigasi, 2) Transmigrasi, dan 3) Edukasi.
Hutan-hutan di Sumatera Selatan, misalnya. Dibabat dan diubah kegunaannya. Sebagian ada yang menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Ada juga yang menjadi lahan irigasi yang digunakan di sepanjang alirannya dimanfaatkan sebagai lumbung padi.
Salah satu bekas peninggalan yang paling nyata adalah saluran air Bendung Komering 10 di Kabupaten OKU Timur. Sampai saat ini, masih dimanfaatkan dengan baik untuk lahan sekitar.
Selain concern terhadap perkebunan yang tinggi, Kolonial juga membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta, dan telepon.
Jalan Raya Pos (Sumber: KOMPAS TV via youtube)
Salah satu yang paling terkenal adalah Jalan Raya Pos.
Herman Willem Daendels adalah sosok di belakangnya.
Dia datang ke Batavia pada 5 Januari 1808. Sebagai Gubernur Jenderal, ia mendapat mandat untuk menjaga Hindia agar tidak jatuh ke tangan Inggris yang saat itu sedang berpusat di India. Demi menjalankan misinya tersebut, ia memutuskan untuk membuka jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo, Jawa Timur).
Ya, jalan yang panjangnya lebih dari 1.000 km.
Tentu aja, proyek ambisius Daendels ini harus dibayar mahal oleh para pekerja dari kaum pribumi kala itu. Kaum pribumi, dalam artikel Sejarah Jalur Daendels: Semacam Jalan Tol di Era Hindia Belanda dikatakan “dipekerjakan secara paksa tanpa diberi upah.”
Bagi Daendels, jalan ini adalah mahakarya yang ia banggakan.
Saat ini, jalur ini biasa kita sebut dengan Pantura (Pantai Utara). Salah satu jalan sentral yang sering dilewati pemudik ketika lebaran. Walau begitu, dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (201), Jan Breman mengatakan kalau proyek jalan ini menelan belasan ribu korban jiwa.
Inilah ironisnya: di satu sisi, Daendels berjasa bagi pembangunan kita. Tapi di sisi lain, ia juga menelan banyak korban.
Masa penjajahan kolonial juga merupakan masa di mana kita pertama kali menggunakan uang sebagai alat pembayaran tenaga kerja. Tapi, ya, dari segi strata sosial, rakyat kita jelas kalah jauh dibanding kaum kolonial yang datang. Pribumi yang sebelumnya birokrat harus tunduk kepada kompeni-kompeni ini. Para raja dan bupati, harus lengser karena sistemnya diubah. Kolonial lebih memilih gubernur jenderal, residen, bupati dalam sistem pemerintahannya. Sisi baiknya, kaum pribumi yang selama ini terkotak-kotak oleh kerajaan, kini mulai bersatu.
Kita, sedikit demi sedikit, disatukan dalam identitas bernama Indonesia.